Meng-entrepreneur-kan Siswa

22 03 2013

Menarik apa yang dilakukan kelas sabussines day kls 1tu dengan programnya ‘bussines day’. Di usia yang masih belia itu, mereka diajarkan praktek langsung jual beli berbagai jajanan. Menawarkan dan mempersuasi calon pembeli. Mengkalkulasi harga dan uang kembalian. Banyak elan kehidupan untuk anak  yang saya tangkap dari pembelajaran itu dari sekedar berdagang. Nilai kreatifitas, kejujuran, kerjasama tim, komunikasi, kecermatan. Pangkalnya melonjakkan kapasitas pribadi siswa. Lebih besar lagi, bahkan program semacam ini bisa sebagai solusi problem bangsa. Bagaimana bisa!

Bangsa Indonesia yang konon ‘ gemah ripah loh jinawi,” kaya akan sumber alam, ternyata belum menjadi bangsa yang kaya dan sejahtera. Tetap menjadi bangsa yang gemar impor dari luar negeri barang barang berukuran raksasa sampai seukuran jarum. Pendapat ekonom Lester Thurow agaknya bisa menjawab fakta itu. Beliau mengatakan “ … without entrepreneurs, economies become poor and weak. The old will not exist, the new can not enter.”

Pendapat senada dikatakan David McClelland yang berpandangan suatu negara akan makmur jika mempunyai entreprneur sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. Indonesia diperkirakan hanya 0,18 persen dari 220 juta penduduk. Bandingkan dengan Singapura menurut laporan Global Entrepreneurship Monitor ( GEM ) tahun 2005 memiliki 7,2 persen.

Pendidikan di sekolah adalah ladang strategis menciptakan benih-benih entrepreur itu. Mengapa ? Wajah bangsa di masa mendatang dicerminkan oleh apa yang terjadi saat ini di dunia pendidikan. Jika sekolah-sekolah kita ada greget di bidang entrepreneur ini, maka sangat mungkin di waktu depan akan lahir para entrepreneur handal.

Perlu diluruskan entrepreneur ini tidak semata urusan bisnis dan keuntungan ekonomis. Ciputra-seorang pengusaha, praktisi sekaligus akademisi-mengkategorikan empat jenis entrepreneur yakni professional entrepreneur, goverment entrepreneur, social entrepreneur dan academic entrepreneur.

Bukan mengarahkan semua siswa harus menjadi wirausaha. Karena itu berarti menafikan dan mematikan ragam potensi siswa sebagai manusia. Tetapi bagaimana me-entrepreneur-kan kemampuan anak. Bakat, minat, kemampuan teknis siswa yang kelak biasanya menjadi embrio pekerjaannya dilengkapi dengan semangat entrepreneurship dalam arti luas. Sehingga kelak mereka akan lebih mampu mandiri dan berdikari, kreatif dan inovatif serta berusaha bermanfaat bagi sesama di bidang masing-masing.

Bagaimana strategi pendidikan entrepreneur ? Titik tekannya bagaimana pembentukan mindshet dan elan vital entrepreneurship seperti di atas dalam proses pembelajaran. Selanjutnya entrepreneurship tidak hanya dalam bentuk “knowledge” tapi sudah menjelma “knowhow”. Kalau knowledge adalah pengetahuan umum, intelektualitas teoritis, knowhow bermakna intelektualitas praktis.

Program bussines day adalah contoh knowhow entrepreneur. Tentunya program ini disesuaikan juga dengan tingkat usia dan perkembangan siswa. Semakin tinggi kelasnya, makin variatif dan kombinatif program pengembangannya. Butuh berpikir out of the box untuk merancang dan memodifikasinya. Ambil contoh program merancang bussines plan, expo kuliner tradisional dan sebagainya.

Untuk ke depan ditunggu program-program selanjutnya yang lebih tajam dan mendapat sentuhan inovasi untuk meng-entrepreneur-kan siswa. Kita merindukan anak-anak kita kelak tampil seperti sahabat yang dalam waktu singkat merebut pasar Madinah dari penguasaan Yahudi selama bertahun-tahun dengan tetap membawa keunggulan akhlak. Semoga.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar